REFLEKSI HUT KE-75 RI: MEMERDEKAKAN PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN
REFLEKSI HUT KE-75 RI: MEMERDEKAKAN PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN
Oleh: IDRIS APANDI
(Praktisi dan Pemerhati Pendidikan)
Tanggal 17 Agustus 2020 bangsa Indonesia memasuki 75 tahun kemerdekaannya. Upacara, parade, mengunjungi taman makam pahlawan, dan lomba-lomba menjadi kegiatan yang mewarnai peringatan HUT kemerdekaan RI. Mungkin perayaan HUT kemerdekaan RI tahun ini akan sedikit berbeda dengan tahun sebelumnya mengingat Indonesia masih mengalami pandemi Covid-19. Berbagai kegiatan, khususnya yang melibatkan banyak orang akan dibatasi mengingat akan memancing kerumunan massa, dan hal tersebut tentunya akan berisiko menyebarkan Covid-19. Oleh karena itu, upacara peringatan HUT RI tahun ini pun sepertinya akan lebih banyak dilakukan secara daring dalam rangka menjaga jarak (physical distancing).
Setiap peringatan HUT RI, doa dan harapan disampaikan oleh seluruh bangsa Indonesia agar negara ini semakin maju dan rakyatnya semakin sejahtera sesuai dengan harapan para pendiri negara (founding fahther) yang tertuang pada alinea IV pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Walau demikian, harapan untuk menjadi sebuah negara dan bangsa yang sejahtera belum sepenuhnya terwujud. Masih banyak bangsa Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Kesenjangan sosial pun masih banyak terjadi, karena belum meratanya pembangunan di wilayah Indonesia.
Dalam konteks pendidikan, masih banyak anak-anak Indonesia yang belum mendapatkan pendidikan yang bermutu. Akses untuk mendapatkan layanan pendidikan terbatas. Belum lagi kalau bicara soal sarana dan prasarana pendidikan. Masih banyak sekolah yang belum memiliki sarana dan prasarana yang memadai. Bukan hanya di daerah 3 T (Tertinggal, Terdepan, Terluar), tetapi di daerah perkotaan pun masih banyak sekolah yang belum memenuhi 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Tidak bisa dipungkiri, berbagai upaya peningkatan mutu pendidikan dilakukan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah. Anggaran pendidikan pun semakin bertambah. Walau demikian, tidak bisa dipungkiri juga, kadang kurang dilakukan secara berkesinambungan dan sinergi antarpihak terkait. Slogan ganti menteri ganti kebijakan sering terdengar seiring terdengar jika ada menteri di kabinet baru. Begitu pun ganti kepala daerah, ganti kebijakan. Kebijakan-kebijakan pejabat sebelumnya tidak dilanjutkan walau sebenarnya sudah dinilai cukup baik.
Di masa Mendikbud Nadiem Makarim saat ini muncul program merdeka belajar dan kampus merdeka. Empat kebijakan merdeka belajar antara lain; (1) Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) yang akan diganti dengan ujian yang hanya diselenggarakan oleh sekolah, (2) Ujian Nasional (UN) yang akan diganti dengan Assessment Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Rencananya, UN tahun 2020 akan menjadi UN terakhir kalinya dilaksanakan, tetapi dibatalkan karena terjadi pandemi Covid-19.
(3) Terkait Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), sesuai dengan Surat Edaran (SE) Mendikbud No. 14 Tahun 2019, guru diberikan pilihan untuk menyusun RPP yang lebih sederhana dibandingkan dengan RPP yang tercantum pada Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses. Guru yang biasanya menyusun RPP sebanyak puluhan lembar, sekarang cukup membuat RPP sebanyak satu lembar saja. (4) Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang lebih fleksibel. Jalur PPDB meliputi jalur zonasi, afirmasi, perpindahan, dan jalur prestasi. Bahkan, di masa pandemi Covid-19, ada jalur khusus untuk anak tenaga medis yang menangani pasien Covid-19 sebagai bentuk apresiasi bagi mereka.
Dalam upaya meningkatkan mutu guru, Kemdikbud menggulirkan program guru penggerak. Tujuan dari program guru penggerak yaitu untuk menciptakan guru-guru yang menjadi pelopor peningkatan mutu pembelajaran, kreatif, inovatif, mampu berbagi ilmu dan pengalaman kepada rekan sejawat, sehingga bisa bersama-sama meningkatkan profesionalismenya. Dengan kata lain, para guru penggerak tersebut diharapkan bisa menjadi agen perubahan dalam peningkatan mutu pendidikan dan berdampak terhadap peningkatan prestasi peserta didik, sehingga para pelajar Indonesia memiliki daya saing baik dalam konteks lokal, nasional, regional, bahkan internasional. Mengacu kepada data PISA, TIMMS, dan PIRLS, daya saing pelajar Indonesia masih jauh di bawah negara-negara lainnya. Memang ada yang berprestasi di level internasional, tetapi belum sebanding dengan total jutaan peserta didik yang ada di Indonesia.
Sebelum lahirnya program guru penggerak, sekian tahun silam, sudah cukup banyak program peningkatan mutu guru. Istilah guru inti, guru pemandu, BERMUTU, guru pembelajar, Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB), dan Peningkatan Kompetensi Pembelajaran (PKP) telah cukup akrab ditelinga para guru sebagai wahana peningkatan profesionalisme mereka. Hanya saat ini bedanya adalah peningkatan profesionalisme guru melibatkan organisasi masyarakat yang disebut sebagai wujud gotong royong meningkatkan mutu pendidikan.
Walau demikian, ada juga masyarakat yang berpendapat bahwa kalau memang konsep gotong royong yang akan dilaksanakan dalam meningkatkan mutu pendidikan, maka para ormas itu menyumbang dana atau tenaga sebagai bentuk nyata partisipasinya, bukan justru mendapatkan bantuan dana dari Kemdikbud.
Konsep merdeka belajar secara konseptual dapat diartikan sebagai proses perubahan prilaku seseorang yang terbebas dari tekanan dan bebas menentukan apa yang ingin dipelajarinya serta cara untuk mendapatkannya. Sedangkan secara operasional, merdeka belajar dapat diartikan sebagai bentuk kebebasan yang diberikan guru kepada para peserta didik untuk belajar dari berbagai sumber, menggunakan berbagai cara sesuai dengan minat dan kebutuhan mereka. Belajar yang penuh bebas dari tekanan, menyenangkan, penuh dengan kegembiraan, sehingga mereka bisa mengambil makna dari hal yang dipelajarinya. Dalam konsep merdeka belajar, peran guru selain sebagai salah satu sumber belajar, juga sebagai fasilitator pembelajaran.
Di era digital saat ini, proses pembelajaran selain dilakukan secara konvensional (tatap muka), juga dilakukan secara virtual melalui pemanfaatan teknologi video konferensi seperti webex, zoom, google meet, Microsoft Teams, dan sebagainya. Internet sebagai sarana untuk pembelajaran secara daring (online) posisinya menjadi kian strategis. Dengan memanfatkan fasilitas internet, konsep e-learning pun menjadi semakin populer. Di masa pandemi Covid-19 saat ini, pembelajaran daring menjadi alternatif yang banyak dipilih menggantikan KBM tatap muka yang dilarang oleh pemerintah untuk menghindari penyebaran Covid-19 khususnya di kalangan pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik.
Menurut saya, merdeka belajar perlu juga disertai dengan merdeka mengajar. Bukan hanya peserta didik yang ingin merdeka, para guru pun saya kira perlu untuk diberikan kemerdekaan, dalam artian merdeka secara pedagogis dan merdeka secara psikologis. Merdeka secara pedagogis maksudnya adalah merdeka untuk menyusun rencana pembejaran, merdeka menentukan pendekatan, model, strategi, metode, teknik, dan taktik yang digunakan dalam pembelajaran. Yang penting tujuannya tercapai.
Sedangkan merdeka secara psikologis, yaitu guru mendapatkan perlindungan dalam menjalankan profesinya, sejahtera lahir dan batin. Jutaan guru di Indonesia telah mendapatkan Tunjangan Profesi Guru (TPG). Hal tersebut adalah upaya atau langkah pemerintah dalam rangka memberikan kesejahteraan kepada guru. Kalau kesejahteraan lahir dan batin terpenuhi, maka guru pun akan tenang dalam melaksanakan tugas.
Guru kadang kurang nyaman dan kurang bisa fokus dalam melaksanakan tugas karena posisinya yang kurang aman, merasa terindimidasi oleh orang tua atau pihak tertentu yang merasa dirugikan (biasanya kasus-kasus yang berkaitan dengan penanganan kenakalan peserta didik di sekolah). Selain itu, ada juga kasus guru yang terintimidasi oleh pejabat birokrasi atau pemerintahan karena sikap kritisnya terhadap sebuah kebijakan. Ada juga guru yang tidak nyaman di lingkungan kerjanya sendiri, karena merasa terintimidasi oleh sikap kepala sekolah atau para wakil kepala sekolah yang kurang merespon saran-sarannya dan sikap kritisnya dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan sekolah.
Kalau dunia pendidikan di Indonesia ingin benar-benar menerapkan konsep merdeka belajar, maka dari mulai para pembuat kebijakan hingga para pelaksana di lapangan harus mampu memunculkan rasa merdeka itu sehingga terefleksikan pada kegiatan pembelajaran di ruang-ruang kelas. Pendidikan yang merdeka juga bisa diartikan sebagai pendidikan yang biayanya terjangkau bahkan gratis dan masyarakat miskin tetap mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan layanan pendidikan sesuai dengan amanat konstitusi.
Sekolah-sekolah yang menerapkan merdeka belajar akan dirasakan seperti taman belajar oleh para peserta didiknya. Taman identik dengan keindahan, kerapihan, kenyaman, dan penuh dengan warna-warni bunga, sehingga orang senang berlama-lama diam di tempat tersebut. Begitu pun dengan sekolah atau ruang kelas yang menjadi taman belajar. Para peserta didik akan merasa nyaman dan senang belajar di sekolah atau kelas, karena mereka banyak mendapatkan hal yang mereka cari di tempat tersebut. Menjadikan sekolah sebagai taman belajar adalah konsep pemikiran Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara.
75 Tahun Indonesia merdeka semoga dapat menjadi momentum untuk memerdekakan pendidikan dan pembelajaran dari rantai birokrasi yang kaku, terkadang suka membelenggu kreativitas guru atas nama keseragaman. Memerdekakan pengelola pendidikan untuk menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), memerdekakan guru dari rasa khawatir dari intimidasi saat menjalankan profesinya dan merdeka dalam melaksanakan proses pembelajaran, dan membebaskan peserta didik untuk mencari ilmu dari berbagai sumber belajar sesuai dengan minat dan kebutuhannya.
Komentar
Posting Komentar