Pendidikan Klasifikasi pada Anak

 Pendidikan Klasifikasi pada Anak


Oleh: M Arfan Mu'ammar


Karakter anak seringkali Messy (berantakan) dalam banyak hal, memakai pakaian, menaruh barang, dan mewarnai. Namun orang tua dan guru harus secara bertahap mengajari anak-anak untuk tertib dan mampu menaruh barang atau mengklasifikasikan sebuah barang tertentu pada tempatnya.


Saya selalu mendidik anak untuk hal itu, contohnya adalah melipat mukena dan sajadah setelah salat. Memang butuh waktu satu tahunan untuk membiasakan anak untuk mampu melipat mukena dan sajadah "tanpa disuruh". Dan saat ini, anak saya yang pertama selalu melakukannya tanpa disuruh.


Saat ini, saya sedang membiasakan anak-anak menaruh handuk pada tempatnya setelah mandi. Tapi masih 80% berhasil, artinya seringkali anak nunggu disuruh dahulu baru menaruh di tempatnya.


Yang masih agak susah adalah membiasakan mereka menaruh mainan di tempatnya setelah mereka bermain dan menaruh buku pelajaran serta buku bacaan pada tempatnya setelah mereka membaca. Memang tidak mudah, butuh proses dan kesabaran.


Kenapa pendidikan klasifikasi dan kerapian dalam penyimpanan barang sangat penting diajarkan pada anak sejak dini?


Rupanya dampak dari pendidikan klasifikasi pada anak sejak kecil, berdampak besar pada anak ketika dia dewasa kelak. Bukan hanya pada kerapian dalam menjalani kehidupan mereka. Tetapi juga berdampak pada produktivitas dia ketika bekerja.


Bayangkan, jika kelak ketika mereka sudah dewasa dan bekerja, lalu mereka tidak mampu melakukan klasifikasi dan penyimpanan barang atau file dokumen dengan baik, akibatnya bisa fatal. Apalagi dia memegang file atau dokumen-dokumen penting perusahaan. File dokumen ini bisa berwujud dokumen fisik/kertas, file di email atau komputer.


Ada banyak riset yang sudah dilakukan tentang bagamana aktivitas pencarian file/dokumen oleh karyawan, ternyata menguras banyak waktu. Akibatnya, produktivitas menurun. Ada 4 riset yang akan saya paparkan di sini terkait aktivitas pencarian file/dokumen oleh karyawan. 


Menariknya, semua riset yang saya paparkan ini dilakukan oleh lembaga penelitian luar negeri, saya belum menemukan riset khusus untuk karyawan di Indonesia yang dilakukan lembaga riset Indonesia. Entah karena karyawan di Indonesia terlalu produktif, sehingga tidak butuh dilakukan riset, atau justru karyawan di Indonesia sangat tidak produktif, sehingga tidak perlu diriset lagi, karena tanpa riset pun sudah bisa terlihat oleh mata awam bahwa mereka sangat tidak produktif, hehe


Riset pertama, yaitu pada tahun 2012, lembaga konsultan McKinsey melakukan penelitian tentang sebarapa banyak waktu yang dihabiskan karyawan untuk mencari informasi. Ternyata, rata-rata karyawan menghabiskan waktu 1,8 jam per hari atau 9,3 jam per pekan untuk mencari dan mengumpulkan informasi. Jika dalam sehari ada waktu 8 jam kerja efektif, maka waktu yang dihabiskan untuk mencari informasi adalah 22,5 persen.


Riset lain seperti International Data Corporation (IDC), waktu yang dibutuhkan karyawan untuk mencari informasi mencapai 2,5 jam per hari. Maknanya, hampir sepertiga waktu kerja para karyawan dihabiskan untuk mencari informasi. Bayangkan, jika klasifikasi dan penyimpanan file dokumen dilakukan lebih baik dan rapi, pasti waktu produktif karyawan akan meningkat sangat signifikan.


Riset selanjutnya, dilakukan oleh Nintex, perusahaan asal Amerika Serikat yang bergerak di bidang perangkat lunak dan platform otomasi bisnis memiliki data yang lebih mengejutkan. Berdasarkan survei terhadap seribu karyawan dari berbagai industri di AS, ternyata banyak sekali yang merasa bermasalah dalam manajemen dokumen.


Di antara permasalahannya adalah: 49 persen menghadapi masalah dalam proses penyimpanan dokumen. 43 persen memiliki masalah dalam proses approval dan sharing dokumen. Serta 33 persen selalu bermasalah dalam proses klasifikasi dokumen.


Dampak dari ketidak rapian dalam klasifikasi dan penyimpanan dokumen adalah: karyawan akan sangat lama dalam mencari file atau dokumen. Karena tidak kunjung ditemukan, akhirnya karyawan menduplikasi atau membuat ulang file atau surat tersebut. 


Misalkan dalam membuat surat permohonan menjadi narasumber, 1 bulan sebelumnya karyawan tersebut sudah pernah membuat, namun karena manajemen klasifikasi dan penyimpanan tidak rapi, ketika dia diminta atasannya untuk membuat surat permohonan serupa di acara yang lain, maka dia mencari-cari file dokumen yang telah dibuatnya. Lama mencari tidak ketemu, lalu dia mencari arsip hard copy, karena tidak ada file, terpaksalah karyawan itu mengetik ulang surat permohonan narasumber dari hard copy tadi. Berapa waktu yang dihabiskan hanya untuk membuat satu surat?


Kalau seandainya manajemen klasifikasi dan penyimpanan filenya rapi, tentu dalam waktu singkat dia akan menemukan file yang dicari dan tinggal merubah waktu, tanggal, nama narasumber dan sedikit redaksi. Selesai.


Maka tidak heran jika riset yang dilakukan oleh Xenit, sebuah perusahaan IT yang berbasis di Belgia menunjukkan hal serupa. Xenit menyimpulkan bahwa rata-rata “potensial loss” dari turunnya produktivitas akibat terbuangnya waktu karena menduplikasi atau membuat ulang file/dokumen dari setiap seribu karyawan, mencapai USD50 juta per tahun.


Saya pernah bertemu dengan seorang pengusaha, yang mendirikan pabriknya di Cina. Saya bertanya: kenapa mendirikan pabrik di sana, kenapa tidak di Indonesia? Dia mengatakan ada dua alasan: pertama karena urusan birokrasi pendirian usaha di Cina jauh lebih mudah dan tidak banyak pungli. Kedua: soal produktivitas pekerja, warga Cina sangat jauh lebih produktif dari warga Indonesia. Anggap saja misalkan dalam sehari, satu karyawan di Cina mampu membuat 5 produk, sedangkan di Indonesia satu karyawan dalam sehari hanya mampu membuat 1-2 produk. Kedua hal itu bisa menjadi salah satu alasan dari banyak alasan, kenapa produk-produk Cina bisa jauh lebih murah.


Rendahnya produktivitas kerja berdampak pada menurunnya omzet sebuah perusahaan. Turunnya omzet sebuah perusahaan di sebuah negara, tentu akan berdampak pada melambannya laju perkembangan ekonomi dalam sebuah negara. Itu semua berawal dan bermula dari abainya orang tua dalam mendidik anak tentang manajemen klasifikasi sejak usia dini.


https://rumahpendidikan.id/urgensi-pendidikan-klasifikasi-pada-anak/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROGRAM BEASISWA PENDIDIKAN MA AL FALAH

Pembagian Mapel Peserta Workshop

PONDOK ROMADLON 1432